Friday, September 12, 2008

Sahabat Baruku

Pagi yang indah dengan dedaunan hijau ranum dibiasi embun yang lembut. Mentari sedikit demi sedikit mulai menampakkan keperkasaannya.
Warga kota Banjarbaru berbondong-bondong mulai menjalankan aktifitasnya. Ada yang berseliweran dengan baju training, lari pagi dan ada juga para ibu-ibu rumah tangga menuju pasar, untuk membeli keperluan rumah tangga tentunya.
Fay adalah salah satu dari orang yang berseliweran lari pagi mengenakan baju training warna biru. Seperti biasa, setelah selesai lari pagi—sekitar jam 6.30 WITA--dia langsung berjalan menuju sebuah warung kecil yang bernama WARUNG BURYAM BANG YOPI.
Benaknya sudah terbayang-bayang dengan aroma khas dari buryam buatan Bang Yopi, enak plus luezat. Belum sampai di warung tujuannya Fay menghantikan langkahnya—Kolam Renang Idaman, masih tutup—bayangannya tentang buryam Bang Yopi berpindah kepada kenangan saat ia amsih bersahabat dengan Robi yang kini sudah pindah ke Bandung melanjutkan SMA-nya di sana. Biasanya mereka berdua sering berenang di kolam itu.
Meski tidak bisa berenang, Fay tetap bersikeras untuk mandi bersama Robi di kolam itu walaupun Cuma nempel di tepi-tepi kolam tanpa berani melepaskan tangannya dari tepian kolam. Kebiasaan Fay seperti itu akhirnya membuat Robi bertanya kepadanya...
“Fay terus maumu apa cuma nempel kayak lumut di pinggir-pinggir kayak gini? Coba berenang kek... buang-buang duit masukmu kalau nggak berenang, tujuan kita kesinikan berenang...” ujar Robi.
“Aku nggak bisa berenang, dan lagi aku nggak mau belajar soalnya takut. Terus, tujuanku masuk ke sini bukan mau berenang tapi cuci mata, liat cewek seksi nan cantik gitulo,” jawab Fay.
Jawabannya itu cukup memuaskan bagi Robi yang perlu penjelasan asal muasal Fay yang bersikeras ikut ke kolam tapi cuma berendam dan nempel di tepi-tepi kolam, sehingga diapun beranjak dari sisi Fay sambil menggerutu. “Aneh,” gumamnya dalam hati.
“Brengsek! Ngapain aku ngelamun di sini segala,” umpatnya setelah tersadar dari lamunannya. Iapun kembali berjalan menuju warung Bang Yopi dengan langkah yang sedikit ia percepat.
“Bang buryam semangkuk Bang, seperti biasa minumnya teh jahe kesukaan Fay.”
“Yes sir, Abang gak pernah lupa dengan selera Fay, pelanggan setia Abang,” ujar Bang Yopi sambil dengan cekatan menyiapkan pesanan orang yang lebih dulu memesan buryam dan mengantarkan ke bangkunya lalu bergerak kembali menyiapkan pesanan Fay.
“genjreng...jreng jreng jreng...”
Seorang berambut gondrong dengan celana jeans mengenakan kaus oblong bergambar bilabong menyongsong. Wajah yang sudah tidak asing lagi bagi Fay. Tapi, sampai saat ini dia belum mengenalnya. Jangankan kenal, tau namanya saja nggak. Hari inilah saatnya aku berkenalan dengannya, gumam Fay dalam hati.
“Sekolah aku nggak cinta kasih kutinggalkan
Pacaran kalah saingan lebih baik kita aku nyanyi
Daripada nyolong ayam di gebukin di penjara 7 bulan...”
Mendengar suaranya yang merdu itu, Fay hanyut sambil manggut-manggut.
“Ini salah siapa ini dosa siapa tanyakan pada orangnya
Terimalah salam saya
Dari anak nggak sekolah
Gara-gara uangnya kere.”
Fay bertepuk tangan sambil tersenyum.
“Suaramu bagus ya,”ujar Fay memuji.
“Termakasiih,” pengamen itu lalu menyodorkan bungkusan pelastik bekas tempat untuk menaruh uang hasilnya mengamen, masih kosong.
“Loh kok langsung sih, kitakan belum kenalan... Perkenalkan nama saya Fay,” ujar Fay sembari menyodorkan tangannya.
“Najmun...” pengamen itu menyebutkan namanya. Bersamaan dengan itu dia menjabat tangan Fay.
“Belum makan kan? Ayo makan, biar aku yang traktir,” ujar Fay seolah tahu keadaan Najmun.”Ayo duduk,” lanjutnya mengajak Najmun.
Najmunpun menuruti perkataan Fay duduk dibangku hadapan Fay.
“Ini Fay buburnya,” Bang Yopi meletakkan buryam dan teh jahe pesanan Fay.
“Thank you Bang... Eh, satu lagi Bang, buat teman saya Najmun.”
“Eh, kalian baru kenalan ya? Yap, Abang akan siapkan secepatnya. Oya, minumnya apa?”
“Najmun, kamu maunya minum apa?” Tanya Fay.
“Hm, air...”jawab Najmun menggantung.
“Yeee, kalo air mah semua orang minuma air, masa minum nasi. Yang jelas dong, air apa,” uajar Fay.
“Kalo begitu terserah kamu deh,”
“Aku mesan teh jahe, kalau begitu kamu juga teh jahe ya... Bang teh jahe aja deh, biar sama.”
“Rebes bos, hihihihi,”jawab Bang Yopi sambil ketawa. Ketwanya aneh.
“Ih Bang Yopi kayak jin Musthofa yang di film Jin dan Jun aja,” gurau Najmun yang kemudian diiringi dengan gelak tawa mereka bertiga.
Tak seberapa lama, pesanan kedua Fay sudah tersaji untuk Najmun. Dan mereka berdua pun mulai menyantapnya.
“Najmun, kalo boleh nanya kamu kelas berapa ya?”
Mendengar pertanyaan itu, Najmun mendadak murung. Ia serba salah untuk menajawab pertanyaan sahabat barunya itu. Soalnya dia baru saja berhenti dari sekolah— kelas tiga SMA—sekitar satu minggu lalu.
“Aku nggak sekolah,”jawab Najmun singkat.
“Hm? Kenapa?” Tanya Fay.
Najmun hanya diam dnegan wajah yang merunduk murung.
“Orang tuamu nggak mampu membiayai kamu?”
BRAKKK!
Tiba-tiba Najmun berdiri dan menamparkan tangannya di atas meja.
Spontan(uhuy), Fay terkejut.
“Hey, kamu menghinaku ya?” Suara Najmun meninggi.”Ya, aku memang miskin. Orang tuaku sudah tidak mampu membiayai sekolahku! Tapi, jangan sembarangan kamu menghinaku...Brengsek!” Najmun beranjak dari warung itu dengan hati yang dongkol.
Fay begitu menyesal dengan erbuatannya yang ternyata telah menyinggung perasaan Najmun sahabat barunya itu. Yah, lidah memang tak bertulang sehingga apapun yang terucap darinya kadang tidak terkendali. Namun, nasi sudah menjadi bubur(bukan bubur ayam) tersinggungnya Najmun tak dapat ditarik kembali kecuali dengan meminta maaf kepadanya.
“Bang,” ujar Fay.
“Iya Fay.”
“Abang sudah kenal lama kan sama Najmun?”
“Ya iya lah masa ya iya dong, gue udah tamat sekolah masa masih minta gendong.”
“Idih Abang masih aja bergurau, nggak nyambung lagi. Nggak tau sama keadaan Fay apa,” Fay menggerutu.”Kenapa najmun sampai kayak gitu Bang?”
“Sebenarnya dia baru saja berhenti sekolah, sekitar satu minggau yang lalu. Kabarnya sih karena orang tuanya nggak mampu lagi untuk membiayainya.”
“Iya,” seorang pelanggan Bang Yopi nyambung, Bu Wati. “Kasian banget si Najmun itu. Mana ayahnya sakit-sakitan lagi. Terpaksa sekarang dialah yang harus menanggung semua beban keluarga, tentunya harus berhenti sekolah. Padahal, dia itu bintang top banget lo di sekolahnya, juara umum terus tiap semester.”
“Ah masa iya sih,” Bang Yopi kurang yakin.
“Ya iyalah, masa ya iya dong, anak sayakan dengannya satu sekolah, masa saya bohong.”
Hey-hey ini bukan tempatnya gosip dan semacamnya, lagian, cuma nanya sedikit kok jawabannya puanjang lebar.
Namun di samping itu, Fay terenyuh dan pilu mendengar sedikit kisah kehidupan seorang Najmun. Ternyata pengorbanannya begitu besar, demi keluarganya agar tetep bisa memakan sesuap nasi, terpaksa ia harus mengorbankan masa depannya yang cemerlng.
“Nih Bang uangnya, 14 ribu... Makasih ya.”
Faypun bergegas lari mengejar Najmun. Mungkin dia masih belum jauh dari sini. Sesekali Fay singgah di warung yang berkemungkinan disinggahi oleh Najmun dan menanyakan ke arah mana dia pergi.
Sudah lima warung di singgahinya dengan memberi pertanyaan yang sama kepada pemilik warung. Tapi nihil, semua tak ada yang tau. Fay terus berlari(lari pagi lagi nih acaranya) sampai di sebuah cafe.
“Mbak lihat pengamen lewat atau singgah di sini nggak?” Tanyanya kepada seorang pelanggan cafe yang duduk santai dengan pacarnya lagi minum kopi jahe(hey, nggak penting kalee).
“Aduh ganteng sekali, cari aku ya?”
“Bukan, pengamen yang rambutnya gondrong dan...”
“Aku nggak tau, lebih baik cari aku aja.”
“Heh, lo nggodain cewek gue, mau gue gampar biar mampus sekalian. “ Nah lo, pacarnya ngamuk.
“Aldo, yang nggoda itu aku, bukannya dia.”
Mbak ini gimana sih. Aneh sekali sifatnya.
“Ah nggak bisa, gue harus bunuh ni kecoa.”
“Waduh, aku dibilang kecoa lagi. Hi, mendingan aku lari aja dari sini, hi atut!”
Faypun terus mencari Najmun. Tiada tujuan yang kau arah, mata angin tak kau hiraukan. Ke utara kau melangkah ke selatan juga kau tuju. Ke barat kau pergi ke timur juga kau sebrangi... musaf...(hey-hey malah nyanyi, ngelindur. Lagunya enak juga ya).
“Hah heran, kemana sih si Najmun?” Diliriknya arloji di tangan. “Ya ampun sudah jam setengah delapan, harus masuk sekolah nih.”
Dengan hati yang keceawa dan dengan berat hati, Fay menyerah untuk mencari Najmun.Waktu mencegahnya untuk berlama-lama mencari Najmun. Dengan langkah yang gontay dia berjalan menuju halte menunggu angkot yang biasanya mengantarnya pulang setelah berjoging ria (tapi, kayaknya hari ini jogingnya nggak ria deh).
Angkot yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, Faypun bergegas untuk masuk ke dalam dengan sangat berat hati. Sesaat ia melihat ke sebuah toko buku di seberang halte. Hah, untuk apa memandangi toko buku yang masih sunyi tak ada siapa-siapa kecuali seorang lelaki berambut gondrong dengan celana jeans...ups tunggu dulu, berambut gondrong dan bercelana jeans? Itu kan Najmun.
“Najmun!”
Fay berlari dengan cepat menyebrangi jalan. Tak peduli kendaraan lalu-lintas yang begitu ramai, dengan gesit dia menghidari sepeda motor yang hampir saja menabraknya kemudian kelakson mobil dan kendaraan lainnya bersahut-sahutan memekik sambil berbagai macam makian penuh amarah dari para pengendara tak henti-hentinya tertuju pada Fay. Tak ayal saat itu terjadi kemacetan sesaat beserta ramainya bunyi kelakson kendaraan yang bersahut-sahutan.
“Hey, kamu mau mati?” Bentak Najmun.
“Ini semua kulakukan demi menemui kamu...”
“What, kamu gila ya?...”
“Aku mau minta maaf soal tadi, aku tidak sengaja menyinggung perasaanmu. Kamu maukan memaafkan aku,” wajah Fay memelas.
Huh Fay-Fay, ternyata kamu memang anak yang paling hebat. Baru kali ini aku mendapat anak yang sehebat dan senekat kamu, berbuat hal yang sangat berbahaya demi memohon maaf kepadaku. Padahal kesalahanmu tidak seberapa. Gumam Najmun dalam hati. Dan sekarang, sifat egoiskulah yang salah, sampai hampir saja nyawamu melayang gara-gara korban keegoisanku. Aku memang buruk jika kamu jadikan sahabat Fay. Tapi, aku akan tetap berusaha menjadi sahabat terbaikmu. Itupun kalau kamu mau menjadikanku sahabatmu.
“Najmun, hei kok ngelamun sih.”
“Aa... iya ada apa,” Najmun tersentak.
“Yeh telmi dia, aku minta maaf atas kejadian tadi,” Fay melirik arlojinya.
Wajah Fay seketika berubah, pucat.
“I iya, ku maafin. Fay, seharusnya aku yang mita maaf sama kamu Fay, aku sudah buat kamu...,” tak sempat selesai perkataan Najmun diputus oleh Fay.
“Ya, sekarang giliran kamu minta maaf sama aku! Lihat nih aku sudah telat,” Fay menunjukkan arlojinya—jam sembilan.
“Wah, maafin aku... aku nggak bermaksud kayak gitu. Please maafin aku...,” Najmun memelas minta maaf.
“Waktu belajarku yang hilang sehari nggak akan pernah bisa terganti...sampai kapanpun itu.”
“Yah, tapi itu kan bukan sepenuhnya salahku...”
“Ngak bisa!”
“Oh Fay...”
“Oke, aku mau maafin kamu asal dengan satu syarat.”
“Ya, aku kan lakukan apapun yang kamu mau.”
“Kamu jadi sahabatku dan mulai hari Senin kamu sudah harus masuk sekolah. Ayahku yang menanggung semuanya.”
“Hah, benarkah!” Najmun begitu terkejut. “Eh, apa ayahmu tahu?” Najmun meragukan Fay.
“Tenang saja, ayah memang menyuruhku untuk mencari teman sebayaku yang tidak mampu bersekolah untuk ia biayai, jadi kamulah yang kupilih sebagai teman yang dibiayai oleh ayahku. Iya kan sahabat?”
“Iya deh,”
“Satu lagi, mulai besok kamu tidak boleh mengamen lagi.”










TERIMAKASIH ATAS KUNJUNGANNYA

1 comment:

  1. waduh... cerita-nya panjang dan menarik, fahri berbakat nulis cerpen yaaa

    ReplyDelete

TERIMAKASIH ATAS KOMENTAR DAN KUNJUNGANNYA

Welcome